Saturday, December 29, 2012

2. Yoakim dan Anna bersumpah pada Tuhan


2. Yoakim dan Anna bersumpah pada Tuhan
22 Agustus 1944

            Aku melihat ke dalam sebuah rumah. Di dalamnya ada seorang wanita tua duduk di dekat alat tenun. Aku berkata, sambil memperhatikan rambutnya, yang pastilah sebelumnya berwarna hitam legam, kini menjadi agak abu-abu dan wajahnya, walaupun tidak berkerut, memiliki gravitasi yang datang bersama dengan usia, sehingga ia pastilah berusia lima puluh-tahunan. Tidak lebih.
            Saat memperkirakan usia wanita itu, aku mendapatkan diriku menghitung-hitung wajah ibuku, yang gambarannya lebih  hadir bagiku di saat-saat ini yang mengingatkan aku pada akhir hari-harinya di samping tempat tidurku... Lusa akan menjadi satu tahun sejak aku melihatnya terakhir kali... Ibuku memiliki wajah yang awet muda, tetapi rambutnya menjadi abu-abu lebih awal. Ketika ia berusia lima puluh tahun rambutnya se-abu-abu seperti saat akhir hidupnya. Tetapi, terlepas dari kedewasaan penampilannya, tidak ada yang mengkhianati usianya. Jadinya aku bisa salah memperkirakan usia wanita tua itu.
            Wanita yang aku lihat di dalam sebuah ruangan, terang dengan cahaya berasal dari sebuah pintu yang terbuka lebar pada sebuah taman yang besar – sebuah kebun kusebut begitu sebab segera terhubung dengan mulus pada naik turun sebuah lereng hijau – wanita itu cantik dalam perawakan yang pasti nya Yahudi. Matanya berwarna hitam dan mendalam dan sementara aku tidak tahu mengapa, mereka mengingatkanku pada Baptis. Tapi, meskipun mereka bangga memiliki mata-mata bagai ratu, mereka juga manis, seperti kerudung biru telah diletakkan pada kilatan elang: manis dan agak menyedihkan, seperti seseorang yang memikirkan sesuatu dan menyesal telah kehilangan hal itu. Kulitnya berwarna coklat, tapi tidak begitu berlebihan. Mulutnya, sedikit besar, terbentuk dengan baik dan tidak bergerak dalam pengendalian diri, yang, bagaimanapun, bukanlah merupakan hal yang sulit. Hidungnya panjang dan tipis, melorot sedikit, bengkok yang sesuai dengan matanya. Dia juga berperawakan bagus, tidak gemuk, proporsional dan saya pikir tinggi, jika menilainya dalam posisi duduk.
            Aku pikir ia sedang menenun sebuah tirai atau sebuah karpet. Banyak warna bergerak cepat pada alat tenun berwarna coklat, dan bagian yang telah ditenunnya memperlihatkan sebuah untaian kerja senar-senar Yunani dan mawar-mawar berwarna hijau, kuning, merah dan biru mendalam saling tertenun dan berbaur di dalam satu mosaik.
            Wanita itu memakai pakaian gelap biasa, sebuah warna merah violet, gradasi warna-warna bunga dari spesies istimewa.
            Ia berdiri ketika ia mendengar seseorang mengetuk pintu. Ia sungguh tinggi. Ia membuka pintu.
            Seorang wanita bertanya padanya: <<Anna, berikan padaku amphoramu. Aku akan mengisinya untukmu.>>
            Wanita itu mempunyai seorang anak baik berusia lima tahun bersamanya, yang segera bergelayut pada pakaian Anna, dan ia membelainya sambil berjalan menuju ruangan yang lain, dan kembali dengan sebuah amphora tembaga yang diberikannya pada wanita tadi sambil berkata: <<Kamu selalu baik pada Anna yang tua ini, sungguh kamu baik. Semoga Tuhan membalasmu dan puteramu ini dan anak-anakmu yang lainnya, engkau beruntung!>> Anna menghela nafas.
            Wanita itu melihat padanya dan tidak tahu harus berkata apa pada keadaan itu. Untuk mengalihkan perhatian dari situasi mencemaskan yang ia sadari itu, ia berkata: <<Aku titip Alphaeus denganmu, jika kau tidak keberatan, agar aku bisa lebih cepat dan aku akan penuhi banyak tempayan dan kendi untukmu.>>
            Alphaeus sangat senang untuk tinggal sementara dan alasannya jelas. Segera setelah ibunya pergi, Anna menggendongnya dan membawanya ke kebun buah. Mengangkatnya ke sebuah pergola anggur keemasan seperti topaz dan berkata padanya: <<Makan, makan, anggurnya enak>>, dan ia menciumnya di wajah kecilnya yang berlumur sari anggur yang dimakan anak itu. Kemudian ia tertawa sepenuh hati dan sekali lagi ia terlihat lebih muda dengan sederetan gigi indah yang ia perlihatkan, kegembiraan terpancar dari wajahnya, menyingkirkan tahun-tahunnya, kemudian anak itu bertanya: <<Apa yang akan kauberikan padaku sekarang?>> dan anak itu memandang pada matanya yang terbuka lebar berwarna abu-abu biru pekat. Ia tertawa dan bermain dengan anak itu dan menekuk lututnya dan terus: <<Apa yang akan kauberikan padaku jika aku memberikan padamu? ...jika Aku memberikan padamu? ... Tebak!>> Dan anak itu, menepuk tangannya, dengan sebuah senyuman lebar menjawab: << Ciuman, ciuman akan kuberikan padamu, Anna yang baik, Anna yang baik, mama Anna!...>>
            Anna, saat ia mendengar anak itu berkata: <<Mama Anna>>, berteriak gembira penuh kasih dan bercanda dengan si kecil sambil berkata: << Sayangku! Sayang! Sayang! Sayang>> Di setiap << sayang>> sebuah ciuman mendarat di pipi-pipinya yang mawari.
            Kemudian mereka pergi ke sebuah lemari dan dari sebuah piring ia mengambil kue-kue madu. <<Aku membuatkannya untukmu, sayang, dari Anna yang malang, sebab engkau sayang padaku. Tetapi katakan padaku, seberapa sayangnya engkau padaku?>> Dan anak itu berpikir akan apa yang telah sungguh mengesankan baginya: <<Sebanyak Bait Allah.>> Anna menciumnya lagi pada mata-mata kecilnya yang hidup, bibir-bibir merahnya yang kecil dan anak itu bermanjaan padanya seperti seekor anak kucing.
            Ibu anak itu mondar-mandir dengan sebuah tempayan yang penuh dan tersenyum tanpa berkata apa-apa. Ia meninggalkan mereka pada keasyikkan mereka.
            Seorang laki-laki tua datang dari kebun buah. Ia sedikit lebih kecil daripada Anna, dan rambut tebalnya putih semua. Wajahnya memiliki raut yang jernih dengan potongan janggut persegi; mata-matanya berwarna seperti biru turquis dan bulu-bulu matanya berwarna coklat muda, hampir tersaru. Jubahnya berwarna coklat tua.


            Anna tidak melihat dia sebab ia membelakangi pintu dan pria itu mendekatinya dari belakang bertanya: <<Dan tidak ada untukku?>> Anna berputar dan berkata: <<O Yoakim! Sudah selesai pekerjaanmu?>> Pada saat yang sama Alphaeus kecil berlari pada lutut laki-laki tua itu berkata: <<Untukmu juga, untukmu juga.>> Dan ketika laki-laki itu membungkuk untuk menciumnya, anak itu bergelayut di lehernya, memainkan janggutnya dengan tangan-tangan kecilnya dan ciuman-ciumannya.
            Yoakim juga memiliki hadiahnya. Ia membawa tangan kirinya dari belakang punggungnya dan memberikan kepada anak itu sebuah apel yang indah, yang terlihat bagai terbuat dari porselain yang terbaik. Tersenyum ia berkata kepada anak itu yang mengulurkan tangannya dengan antusias: <<Tunggu, aku potongkan untukmu! Engkau tidak bisa mengambilnya seperti itu. Itu lebih besar daripadamu!>> Dengan sebuah pisau pemotong, yang dibawanya di ikat pinggangnya, ia memotong buah itu menjadi potongan-potongan kecil. Ia terlihat meringkuk sambil memberikan makanan itu, penjagaannya yang begitu hati-hati untuk menaruh potongan-potongan buah itu ke dalam mulut kecil yang terbuka lebar yang menggigit dan mengunyah itu.
            <<Lihat matanya, Yoakim! Tidakkah terlihat seperti dua ombak kecil Laut Galilea saat angin malam menarik sebuah cadar awan dari langit?>> Anna berbicara, menempatkan satu tangannya pada pundak suaminya, dan ia juga bersandar sedikit padanya: sebuah perilaku yang memperlihatkan kasih istri yang sangat dalam, sebuah cinta yang masih sempurna setelah bertahun-tahun pernikahan.
            Yoakim melihatnya dengan penuh kasih dan setuju, berkata: << Yang paling indah! Dan gelombang-gelombang rambutnya? Tidakkah seperti warna panenan kering pada matahari? Lihat: Di dalamnya ada campuran bagai emas dan tembaga.>>
            <<Ah! Jika saja kita memiliki seorang anak, aku juga akan memiliki seperti dia: dengan mata-mata dan rambut ini...>> Anna membungkuk, berlutut dan dengan helaan nafas yang dalam mencium dua mata besar berwarna abu-abu biru itu.
            Yoakim juga menghela nafas. Tetapi ia ingin menghibur Anna. Ia menaruh tangannya pada rambut abu-abu tebal bergelombang dan berbisik padanya: <<Kita harus terus berharap. Tuhan bisa melakukan apa saja. Saat kita hidup, mukjizat bisa terjadi, terutama jika kita mengasihi Dia dan kita saling mengasihi.>> Yoakim menekankan kalimat yang terakhir.
            Namun Anna terdiam, sedih, dan ia berdiri, kepalanya tertunduk, untuk menutupi dua tetes air mata yang turun di wajahnya. Hanya Alphaeus kecil yang melihat mereka dan ia kebingungan dan sedih karena teman besarnya menangis, seperti ia juga kadang-kadang menangis. Ia mengangkat tangan-tangannya dan menghapus air mata.
            <<Jangan menangis, Anna! Kita tetap saja bahagia. Paling tidak aku bahagia, karena aku memilikimu.>>
            <<Juga aku memilikimu. Tetapi aku belum memberikanmu seorang anak... Kupikir aku telah mendukakan Tuhan, sebab Ia telah membuat rahimku mandul...>>
            <<Oh istriku! Bagaimana engkau mendukakan Dia, engkau wanita kudus? Dengar. Marilah kita pergi sekali lagi ke Bait Allah. Untuk alasan ini. Tidak hanya untuk Tabernakel-tabernakel! Mari kita ucapkan sebuah doa yang panjang... Mudah-mudahan hal itu akan terjadi padamu seperti telah terjadi pada Sarah... seperti telah terjadi pada Anna dari Elkanah. Mereka menunggu untuk waktu yang lama dan mereka berpikir bahwa mereka malang karena mereka mandul. Malahan seorang anak yang kudus tumbuh bagi mereka di dalam Surga-surga Tuhan. Tersenyumlah, istriku. Tangisanmu adalah hal yang lebih menyedihkan bagiku daripada hidup tanpa anak-anak... Kita akan bawa Alphaeus dengan kita. Kita akan membuatnya berdoa, karena ia polos... dan Tuhan akan mendengarkan doanya dan doa kita bersama dan akan mengabulkannya.>>

            Aku mengerti bahwa siklus kelahiran Maria dimulai. Dan aku sangat bahagia karena aku sangat menginginkannya. Dan aku memikirkan bahwa (3) engkau pun akan bahagia.
            Sebelum aku mulai menulis aku dengar Ibuku berkata padaku: <<Jadi, puteriku, tulislah tentang aku. Semua dukamu akan dihiburkan.>> Dan sambil berkata demikian ia meletakkan tangannya di kepalaku dan membelaiku dengan ramah. Visiun mulai. Tetapi pertama-tama, itulah, sampai aku mendengar seorang wanita tua berusia lima puluh tahun dipanggil namanya, aku tidak menyadari bahwa aku berada di keberadaan ibu sang Ibu dan yang menyebabkan rahmat kelahirannya.

(1) Amphora: Tempayan yang mempunyai dua pegangan, biasa digunakan oleh orang-orang Yunani dan Romawi.

(2) Pergola: Rambatan-rambatan pohon anggur yang ditopang oleh tiang-tiang yang membentuk seperti atap dengan daun-daun mereka.

(3) Untuk diperhatikan bahwa Maria Valtorta sering membahas bapa rohaninya dalam pekerjaannya.
===========


Bergabunglah untuk mendapat cuplikan tulisan Maria Valtorta di e-mail anda: http://groups.yahoo.com/group/penayesus/
Atau cuplikan tulisan dapat dilihat di: http://www.penayesus.blogspot.com/
Fanpage facebook: http://www.facebook.com/MariaValtortaBahasaIndonesia

No comments:

Post a Comment