Friday, January 11, 2013

8. Maria Dipersembahkan Di Bait Allah


8. Maria Dipersembahkan Di Bait Allah

30 Agustus 1944


            Aku melihat Maria di antara ayah dan ibunya berjalan di jalanan di Yerusalem.
            Orang-orang yang lewat berhenti melihat kecantikan anak perempuan kecil itu, berpakaian putih dan mengenakan sebuah mantel ringan. Mantel tersebut, karena pada disainnya ada ranting-ranting dan bunga-bunga yang berwarna lebih gelap dibandingkan warna belakangnya yang lembut, terlihat sama seperti yang Anna pakai di hari Purifikasi. Perbedaannya hanya, mantel Anna terjuntai sampai di bawah pinggangnya, sedangkan mantel Maria yang hanyalah seorang gadis kecil, terjuntai sampai mata kakinya dan membungkus kecantikkannya yang langka itu terhadap sebuah cahaya kecil dan awan terang
            Rambut blonde-nya terurai pada pundaknya atau lebih pada leher lembutnya, bersinar melalui kerudung tak berpola hanya berlatar belakang sangat muda. Kerudungnya tertahan di dahinya dengan sebuah pita biru pucat dimana lili-lili kecil dijalin dengan benang-benang perak, pastilah itu hasil kerja ibunya.
Bunga Magnolia

            Seperti yang kukatakan, baju berwarna putih salju itu menjuntai ke bawah, dan kaki-kaki kecilnya dapat terlihat saat ia berjalan mengenakan sendal putih. Tangan-tangannya seperti dua kelopak magnolia, mengintip dari lengan-lengan bajunya. Selain dari pita biru, tidak ada lagi warna lain. Semuanya putih. Maria terlihat berpakaian dalam salju.
Yoakim memakai pakaian yang sama yang ia kenakan pada hari Purifikasi. Namun Anna memakai pakaian berwarna violet yang sangat gelap. Demikian juga mantelnya, yang juga menutupi kepalanya itu, berwarna violet gelap. Ia memegangi mantel itu hingga di bawah matanya. Dua mata malang seorang ibu, merah karena air mata, yang tidak ingin menangis dan lebih dari itu tidak ingin terlihat menangis, namun menjatuhkan air mata di balik perlindungan mantelnya, sebuah perlindungan yang berguna terhadap orang-orang yang lewat dan juga terhadap Yoakim, yang matanya, biasanya jernih, namun hari ini merah dan kusam karena air matanya mengalir dan masih mengalir. Yoakim berjalan membungkuk, kepalanya berkerudung sebuah penutup dalam gaya sebuah turban, yang lipatan-lipatannya terjuntai di wajahnya.
            Seorang Yoakim yang sangat tua. Siapapun yang melihatnya, pastilah berpikir bahwa ia adalah kakek atau kakek buyut dari cucunya si anak perempuan kecil yang dipegangnya itu. Rasa sakit akan kehilangan anak itu menyebabkan ayah yang malang ini menyeret langkahnya dan ia sangat kelelahan sehingga terlihat dua puluh tahun lebih tua. Ia begitu sedih dan lelah sehingga ia terlihat seperti orang sakit. Mulutnya sedikit bergetar di antara dua kerutan di bawah hidungnya yang hari ini terlihat begitu dalam.
            Mereka berdua berusaha untuk menyembunyikan air mata mereka. Walau mereka berhasil menyembunyikannya terhadap banyak orang namun tidak terhadap Maria, yang, karena kecil, melihat mereka dari bawah dan mengangkat kepalanya melihat ayah dan ibunya bergantian. Mereka berusaha tersenyum pada Maria dengan mulut bergetar dan mereka memegang tangan kecilnya semakin erat setiap puteri kecil mereka melihat mereka dan tersenyum. Pastilah mereka berpikir: “Itulah, sebuah senyum yang terlihat pada waktu yang semakin berkurang.”
            Mereka meneruskan dengan perlahan. Sangat perlahan-lahan. Mereka terlihat seperti ingin berjalan seperlahan mungkin di dalam perjalanan itu. Segala sesuatunya seperti memberi alasan untuk berhenti... Namun sebuah perjalanan pastilah harus berakhir! Dan yang satu inipun juga akan berakhir. Di atas sana, di akhir ujung jalan ini, itulah dinding-dinding Bait Allah. Anna mengerang dan memegang tangan Maria semakin erat.
            “Anna, sayangku, aku di sini bersamamu!” terdengar sebuah suara berasal dari teduhan dibangun seperti busur yang rendah melintang di jalan. Dan Elizabet yang telah menunggu mereka, mendekati dan memeluk Anna. Dan karena Anna menangis, Elizabet berkata” “Mari masuk ke rumah bersahabat ini sebentar. Nanti kita akan pergi bersama-sama. Juga Zakharia ada di sini.”
            Mereka semua memasuki sebuah ruangan rendah yang gelap, cahaya yang ada hanya sebuah api yang besar. Sang induk semang pastilah teman Elizabet, namun tidak dikenal oleh Anna, ia ramah dan undur diri meninggalkan mereka.

            “Kau tidak boleh berpikir bahwa aku sedang bertobat atau aku tidak mau menyerahkan hartaku kepada Allah.” Jelas Anna seraya menangis, “tetapi hatiku inilah... oh! Betapa sakit hatiku, hati yang tua ini kembali pada hati sepi tanpa anak dulu! Andai saja kau bisa merasakannya...”
            “Aku tahu, Annaku sayang... Tetapi engkau orang baik dan Tuhan akan menghiburmu di dalam kesepianmu. Maria akan berdoa bagi kedamaian ibunya, iya kan Maria?”
            Maria membelai tangan-tangan ibunya dan menciuminya. Ia mengambil tangan-tangan itu dan menaruhnya di wajahnya minta dibelai dan Anna memegang wajah kecilnya erat-erat dan menciuminya berkali-kali. Ia tak pernah lelah mencium Maria.
            Zakharia masuk dan memberi salam seraya berkata: “Semoga damai Tuhan menyertai orang-orang baik.”
            “Tidak pernah. Malah sebaliknya, kesedihanmu yang tidak akan melebihi dari batas-batas yang masuk akal dan tidak  mengguncangkan imanmu, mengajarkan aku bagaimana untuk mengasihi Yang Maha Tinggi. Tetapi ingatlah di dalam hati. Hanna, sang nabi, akan mengurus bunga Daud dan Harun ini. Sekarang ini hanya dialah lili di Bait Allah tempat kudus Daud dan ia akan dijaga sebagai sebuah mutiara kerajaan. Walaupun kita mendekati waktu dimana Mesias akan datang, dan para perempuan di rumah Daud harus bersungguh mempersembahkan anak-anak perempuan mereka ke Bait Allah, karena Mesias akan dilahirkan dari seorang Perawan keturunan Daud, namun, karena secara umum iman kebanyakan orang melemah, tempat-tempat para perawan di Bait Allah kini kosong. Terlalu sedikit dan tidak ada keturunan bangsawan, sejak Sarah dari Eliza pergi tiga tahun yang lalu untuk menikah. Benar bahwa masih ada 30 tahun dari waktu yang telah ditentukan, tetapi... Ya, marilah kita berharap bahwa Maria adalah yang pertama dari para perawan keturunan Daud di hadapan Tabut Kudus. Dan kemudian... siapa tahu...” Zakharia tidak berkata-kata lagi. Tapi ia melihat Maria penuh perasaan. Kemudian ia melanjutkan: “Aku juga akan menjaga dia. Aku adalah seorang imam dan aku memiliki kekuasaan di sini. Aku akan menggunakannya bagi malaikat ini. Dan Elizabet akan sering datang melihatnya.”
            “Oh! Sungguh! Aku sungguh memerlukan Tuhan hingga aku akan datang dan berkata pada anak kecil ini, agar ia mengatakannya pada Sang Abadi.”
Contoh rajutan benang byssus

            Anna terhibur kembali. Untuk lebih melegakan kesedihannya Elizabet bertanya padanya: “Bukankah ini kerudung pernikahanmu? Atau kau sudah menenun byssus yang baru?”
            “Iya benar. Aku menguduskannya kepada Allah bersama Maria. Mataku sudah tidak begitu baik... dan kemakmuran kami juga sudah menurun karena pajak dan kekurang-beruntungan... Aku sudah tak bisa membayar biaya-biaya yang mahal. Aku hanya mempersiapkan baju Maria untuk di Rumah Allah dan sesudahnya... Sebab kupikir aku tidak akan bersamanya untuk pernikahannya... tapi aku ingin ia mengenakan karya maminya, walaupun dingin dan lamban, mempersiapkan bagi pernikahannya dan menenun linen-linen dan pakaian-pakaiannya.”
            “Oh! Mengapa berpikir begitu!””
            “Aku sudah tua, sepupuku sayang. Aku tak pernah merasa demikian rasa sakit seperti yang kualami sekarang. Aku telah memberikan sampai kekuatanku yang terakhir untuk bunga ini, untuk mengandungnya dan merawatnya, dan kita rasa sakit karena akan kehilangan dia menarikku pada kekuatan terakhirku dan membuangnya.”
            “Jangan berkata begitu demi Yoakim.”
            “Ya, kau sungguh benar. Aku akan mencoba dan hidup bagi suamiku.”
            Yoakim pura-pura tak mendengarnya, terlihat ia sungguh-sungguh sedang mendengarkan perkataan Zakharia, tetapi Yoakim mendengarnya dan ia menarik nafas dalam-dalam, matanya bersinar dengan airmata.
            “Sekarang ini antara jam ketiga dan ke-enam. Kurasa kita harus pergi.” Kata Zakharia.
            Mereka semua berdiri dan memakai mantel mereka dan pergi.
            Namun sebelum keluar, Maria berlutut dengan tangannya terbuka: seorang kerub kecil meminta. “Ayah! Ibu! Tolong, berkatmu.”
            Maria tidak menangis, ia seorang anak kecil yang berani. Namun bibirnya bergetar, dan suara kecilnya terpecah di dalam sedunya, nampak seperti seekor merpati kecil yang gemetar. Wajahnya pucat, dan matanya terlihat bagai mata kesedihan yang kemudian kulihat lagi di Kalvari dan di Sepulchre (makam Yesus), yang begitu mendalamnya sehingga tak mungkin memandangnya tanpa penderitaan yang dalam.
            Orangtuanya memberkati dia dan menciumnya: sekali, dua kali, sepuluh kali, mereka tak puas-puas... Elizabet menangis diam-diam dan Zakharia, walaupun berusaha untuk menutupi air matanya, juga sungguh tergerak secara mendalam.
            Mereka keluar. Maria berada di antara ayah dan ibunya, dan seperti sebelumnya, Zakharia dan istrinya berada di depan mereka.
            Sekarang mereka berada di dalam dinding-dinding Bait Allah. “Aku akan pergi pada imam besar. Kalian pergilah ke Teras Agung.”
Mereka menyeberangi 3 halaman dan melalui 3 hall, yang tersusun satu sama lain. Sekarang mereka berada di kaki marmer kubus bermahkotakan emas. Setiap kubah, konveks seperti bentuk setengah jeruk yang besar, memancar diterpa matahari, saat ini adalah siang hari, matari bersinar langsung ke halaman besar yang mengelilingi bangunan berkhidmat itu dan dipenuhi dengan kilau cahaya bujur sangkar besar dan tangga naik yang lebar yang mengarah pada Bait Allah. Hanya berandanya yang menghadap undakan-undakan, sepanjang yang tersembunyi itu pada teduhan dan pintu yang bertembaga-emas bahkan lebih gelap dan terlihat lebih berkhidmat di dalam cahaya tersebut.
Maria terlihat lebih putih daripada salju di bawah sinar matahari terik. Ia kini berada di kaki undakan-undakan, di antara ayah dan ibunya. Betapa kerasnya degup hati mereka pastinya! Elizabet berada di samping Anna, sedikit di belakanganya, kurang lebih setengah langkah.
            Setelah suara terompet-terompet perak pintu tersebut berputar pada engselnya, terdengar seperti suara kecapi, sambil menghidupkan bola-bola perungu. Bagian dalamnya nampak lampu-lampu pada kejauhan ujungnya dan sebuah prosesi bergerak ke arah pintu, sebuah prosesi formal dengan terompet-terompel perak, asap-asap dupa dan cahaya-cahaya.

Sekarang berada di depan pintu. Di hadapan seorang Imam Besar... seorang tua berwibawa, berpakaian sangat bagus, dan mengenakan pada pakaiannya tunik linen pendek dan dilapisi semacam kasula, sesuatu yang warna-warni antara kasula dan rompi diakon: ungu dan emas, violet dan putih terpadu dan berkilau bagai batu permata di bawah matahari: dua batu permata asli bersinar lebih terang pada bahunya. Mungkin mereka saling berpadu pada penempatan yang indah. Di dadanya ada sebuah piringan metal yang besar bersinar dengan batu-batu permata dan tertahan oleh sebuah rantai emas. Liontin-liontin dan hiasan mengkilat ada pada ujung tuniknya yang pendek dan emas bersinar di atas dahinya pada mitre yang dikenakannya, yang mengingatkanku pada mitre (penutup kepala imam) yang digunakan oleh imam-imam Ortodox,  sebuah mitre yang berbentuk seperti kubah tidak lancip seperti yang dipakai oleh imam Katholik Roma.
            Seorang yang penuh khidmat maju ke depan, sendiri, sejauh undakan-undakan awal, di bawah sinar matahari keemasan yang membuatnya terlihat lebih indah. Yang lainnya berdiri menunggu di bawah beranda yang teduh, di sebuah bundaran di luar pintu. Di kiri ada kelompok gadis-gadis kecil, semuanya berpakaian putih, dengan nabi Hanna dan perempuan-perempuan tua lainnya, pastilah mereka guru-guru.
            Imam besar melihat pada anak-anak itu dan tersenyum. Maria pastilah terlihat sangat kecil di kaki undakan-undakan senilai Bait bangsa mesir itu! Imam itu mengangkat lengannya ke langit, berdoa. Mereka semua menundukkan kepala di dalam kerendahan hati yang sempurna di hadapan kemuliaan imamat yang berkomunikasi dengan sang Kemuliaan yang Abadi.
            Kemudian, ia memberi tanda memanggil Maria. Dan Maria  berjalan meninggalkan ayah dan ibunya, dan bagaikan terbuai, ia menaiki undakan-undakan itu. Dan ia tersenyum. Ia tersenyum di bawah teduhan Bait Allah, dimana Kerudung berharga itu tergantung... Ia kini berada di puncak undakan-undakan, di kaki imam besar, yang meletakkan tangannya ke kepala Maria. Korban telah diterima. Ada lagikah korban lebih murni yang pernah diterima oleh Bait Allah?
            Kemudian imam besar berpaling dan meletakkan tangannya pada pundak Maria seperti ia sedang menuntun Anak Domba Kecil tak bernoda ke altar, ia membawa Maria pada pintu Bait Allah. Sebelum ia menyuruhnya masuk, ia bertanya pada Maria: “Maria dari Daud, apakah engkau menyadari akan sumpahmu?” Ketika Maria menjawab “ya” dalam suara keperakannya, imam besar berkata: Jika demikian, pergilah masuk. Berjalanlah di dalam hadiratku dan jadilah sempurna.”
            Maria berjalan masuk dan tertelan kegelapan. Kelompok para perawan dan guru, dan orang-orang Lewi semakin menyembunyikan dan mengasingkan dia... Kini dia tidak lagi terlihat...
            Juga sekarang pintu tertutup, terdengar engselnya bersuara manis. Melalui kesenyapan yang menyempit dan semakin menyempit, prosesi itu dapat terlihat mendahului Kudus dari Para Kudus. Sekarang kini tampak hanya bagai sebuah benang. Dan lebih lagi: sudah tertutup.
            Suara harmoni terakhir yang terdengar dibalas oleh isak tangis dari dua orangtua yang menangis bersamaan: “Maria! Nak!” dan keduanya mengerang, dan memanggil satu sama lain: “Anna” “Yoakim” dan mereka berhenti berbisik: “Marilah kita beri kemuliaan kepada Allah Yang menerimanya di dalam RumahNya dan menuntunnya di jalanNya.”
            Kemudian semuanya berhenti di situ.
--------------------

            Yesus berkata:
            “Imam besar berkata: “Berjalanlah di dalam hadiratku dan jadilah sempurna.” Sang imam besar tidak mengetahui bahwa ia berbicara pada sang Perempuan Yang telah sempurna hanya bagi Tuhan. Ia berbicara di dalam nama Tuhan, sehingga dengan demikian perintahnya adalah perintah yang kudus. Selalu kudus, terutama yang berhubungan dengan sang Perawan Penuh Kebijaksanaan.
            Maria pantas mendapatkannya bahwa “Kebijaksanaan mendahuluinya dan menunjukkan diri lebih dulu kepadanya”, sebab “dari awal harinya ia telah melihat pada pintuNya, dan ingin berkeinginan untuk diajari, karena kasih, ia ingin menjadi murni untuk mencapai kasih yang sempurna dan pantas memiliki Kebijaksanaan sebagai gurunya.”
            Dalam kerendahan hatinya ia tidak mengetahui bahwa ia sudah memiliki Kebijaksanaan sebelum ia dilahirkan dan bahwa persatuan dengan Kebijaksanaan adalah kelanjutan dari denyut-denyut Ilahi Firdaus. Ia tidak dapat membayangkannya. Dan ketika Tuhan membisikkan kata-kata agung kepadanya pada kedalaman hatinya, dalam kerendahan hatinya, ia berpikir bahwa pikiran-pikiran seperti itu adalah kesombongan dan  karen itulah, menaikkan kepolosan hatinya bagi Tuhan, ia meminta padaNya: “Tuhan, kasihanilah hambaMu ini!”
            Oh! Sungguh benarlah itu bahwa sang Perawan Kebenaran Sejati, sang Perawan Abadi, memiliki pikiran dari awal harinya: hanya untuk mengangkat hatinya pada Tuhan dari pagi akan kehidupannya dan untuk berjaga bagi Tuhan, berdoa di hadapan Yang Maha Tinggi, memohon pengampunan bagi kelemahan hatinya, sebagaimana kerendahan hatinya meyakinkannya, dan ia tidak menyadari bahwa ia sedang memintakan pengampunan bagi para pendosa, yang kemudian nantinya ia lakukan di kaki Salib, bersama dengan Puteranya yang sekarat.
            “Saat Allah yang Besar memutuskan, ia akan dipenuhi dengan Roh kepandaian” dan kemudian akan mengerti misi besarnya. Untuk sementara waktu, ia hanyalah seorang anak, yang berada di dalam tempat kudus di Bait Allah, mendirikan dan kembali mendirikan semakin dekat dan semakin dekat, hubungan-hubungan, kasih dan kenangan bersama Tuhannya.
            Ini adalah untuk setiap orang.
            Tetapi untukmu, Maria kecilku, tidakkah Gurumu memiliki sesuatu yang istimewa untuk dikatakan padamu? “Berjalanlah di dalam hadiratku dan jadilah sempurna.” Aku akan sedikit memodifikasi kalimat kudus itu dan aku memberikannya padamu sebagai sebuah perintah. Jadilah sempurna di dalam kasih, sempurna di dalam kebaikan hati, sempurna di dalam penderitaan.
            Sekali lagi lihatlah ibuKu. Dan pikirkanlah apa yang telah begitu banyak diabaikan atau ingin diabaikan oleh orang, sebab kesedihan terlalu mendukakan perasaan mereka dan roh mereka. Kesedihan. Maria menderita dari waktu terawal di dalam hidupnya. Untuk menjadi sempurna seperti dia, harus memiliki kesensitifan yang sempurna. Dengan demikian berkorbanlah lebih lagi. Sehingga akan menjadi lebih pantas lagi. Ia yang memiliki kemurnian memiliki kasih, ia yang memiliki kasih memiliki kebijaksanaan, ia yang memiliki kebijaksanaan memiliki kebaikan hati dan kepahlawanan, sebab ia tahu mengapa ia membuat suatu pengorbanan.
            Bangkitkanlah semangatmu, walaupun jika salib itu menundukkanmu, mematahkanmu dan membunuhmu. Tuhan bersamamu.”


Bergabunglah untuk mendapat cuplikan tulisan Maria Valtorta di e-mail anda: http://groups.yahoo.com/group/penayesus/
Atau cuplikan tulisan dapat dilihat di: http://www.penayesus.blogspot.com/

No comments:

Post a Comment